Jakarta, 9 Juli 2025 — Balai Harta Peninggalan (BHP) Jakarta bersama Ikatan Notaris Indonesia (INI) Wilayah DKI Jakarta dan Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (IPPAT) Wilayah DKI Jakarta menyelenggarakan diskusi bersama bertajuk “Kewenangan dan Peran Balai Harta Peninggalan dalam Hubungannya dengan Notaris dan PPAT dalam Menjalankan Jabatannya”. Kegiatan berlangsung di Rumah Bersama INI–IPPAT, dan menghadirkan narasumber utama dari BHP Jakarta dan kalangan akademisi hukum.
Acara ini dihadir Ketua Wilayah INI DKI Jakarta Vivi Novita Rido, Ketua Wilayah IPPAT DKI Jakarta Dewantari Handayani, Kepala BHP Jakarta Amien Fajar Ocham, serta Habib Adjie, notaris sekaligus akademisi hukum perdata.
Diawali dengan sambutannya, Vivi Novita Rido menyampaikan refleksi simbolis mengenai profesi notaris, yang diibaratkan sebagai “leher dan lutut” dalam struktur kenegaraan—menggambarkan pentingnya peran notaris sebagai penopang kepastian hukum dan keabsahan dokumen hukum di masyarakat. Ia juga menyampaikan bahwa acara ini dipersiapkan dalam waktu singkat, namun berhasil terlaksana dengan antusiasme tinggi dari seluruh peserta.
Sementara itu, Ketua Wilayah IPPAT Dewantari Handayani menekankan pentingnya tema diskusi dalam konteks praktik kenotariatan dan ke-PPAT-an. “Diskusi ini diharapkan dapat menjawab pertanyaan mendasar mengenai fungsi dan kewenangan BHP, terutama dalam kaitannya dengan harta anak di bawah umur, pengampuan, serta harta yang tidak bertuan,” ungkapnya.
Kegiatan ini juga menjadi momen bersejarah, bertepatan dengan ulang tahun INI yang ke-117, menandai eksistensi profesi notaris yang telah hadir sejak 1 Juli 1908.
Kepala BHP Jakarta, Amien Fajar Ocham, dalam paparannya menjelaskan bahwa pemahaman publik terhadap BHP masih relatif terbatas. “Banyak yang mengira BHP mengurusi benda bersejarah, padahal dalam KUH Perdata, istilah ‘Balai Harta Peninggalan’ muncul hampir 100 kali. Ini menunjukkan pentingnya peran BHP dalam sistem hukum perdata Indonesia,” ungkapnya.
Ia juga mengulas bahwa BHP merupakan lembaga warisan dari sistem hukum kolonial Belanda, yang dahulu bernama West en Boedel Kamer. Lembaga ini berdiri sejak 1 Oktober 1624, bahkan lebih tua dari NKRI, dan kini berfungsi sebagai Unit Pelaksana Teknis (UPT) di bawah Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kemenkum.
Saat ini hanya terdapat lima kantor BHP di seluruh Indonesia, yaitu di Medan, Jakarta, Semarang, Surabaya, dan Makassar. Meski jumlahnya terbatas, BHP memiliki fungsi hukum yang krusial. Tugas pokok BHP meliputi pengurusan dan perlindungan kepentingan hukum terhadap subjek hukum yang lemah atau tidak mampu bertindak secara hukum, baik berdasarkan penetapan pengadilan maupun ketentuan hukum yang berlaku.
Delapan fungsi utama BHP antara lain:
- Perwalian
- Pengampuan
- Afwezigheid (Pengurusan ketidakhadiran)
- Onbeheerde Nalatenschap (Pengurusan Harta yang tidak terurus)
- Pendaftaran Wasiat
- Kurator Kepailitan
- Surat Keterangan Hak Waris (SKHW)
- Pengelolaan Uang Pihak Ketiga
Sebagai penutup, sesi tanya jawab diisi oleh JFKK Pertama dari BHP Jakarta, yakni Sofia Annatasia dan Adityas Rachmawati Putri, yang menjawab berbagai pertanyaan teknis dari peserta mengenai penerapan kewenangan BHP dalam kasus-kasus aktual di lapangan.
Kegiatan ini diharapkan menjadi momentum penting dalam memperkuat kolaborasi lintas profesi hukum perdata, serta meningkatkan pemahaman publik dan stakeholder terhadap peran strategis Balai Harta Peninggalan dalam sistem hukum nasional.